Sebuah catatan dari Batang, 2 Mei 2017.

Pagi belum terlalu terang, masih terlalu dingin untuk bergerak. Godaan untuk tetap terlelap sukar ditolak. Tapi tidak demikian untuk Abdul Kholik, sepagi itu ia telah sibuk di atas perahu yang ia sandarkan di pesisir Batang. Menata jaring, memeriksa mesin dan memastikan tak ada yang rusak dengan perahunya.

Bersama tiga kawan saya, kami menemani Mas Kholik menjaring rezeki pagi ini. Ini pengalaman pertama kami melaut bersama nelayan. Sepanjang perjalanan menuju lokasi penangkapan ikan, kami mengobrol bergantian dengan Mas Kholik. Meski tampak malu-malu, Mas Kholik dengan ramah bercerita banyak hal tentang suka-dukanya menjadi nelayan.

Sudah 15 tahun lelaki berumur 24 tahun ini menghidupi anak, istri dan orang tuanya dengan menjadi nelayan. Berbekal perahu sederhana serta doa dan sarapan buatan istri, Kholik berangkat ke laut lepas. Telah banyak pengalaman yang dilalui Mas Kholik, dari cuaca yang tak menentu hingga pendapatan yang naik turun. Di hari-hari biasa, ia bisa memperoleh Rp. 500.000,- sekali melaut, jika permintaan sedang tinggi penghasilannya Mas Kholik bisa mencapai tiga atau empat kali lipat.

Tapi sudah beberapa tahun belakangan ini untuk menjaring rezeki ia harus melaut jauh. Tak bisa lagi ia menyisir tepian laut seperti biasanya untuk mendapat tangkapan. Wilayah penangkapan ikan semakin sempit lantaran pembangunan proyek PLTU Batang. Sebenarnya bisa saja ia tetap melaut ke sekitar wilayah itu, tapi ia harus menghadapi risiko jaringnya akan terjebak lumpur dan sulit diambil seperti nelayan-nelayan lain. Jika memaksa menarik jaring yang tersangkut di besi-besi yang ditanam di laut itu, maka jaring akan rusak. Biaya memperbaikinya bisa mencapai dua juta rupiah, jika memilih merelakan jaring ditinggal, tak ada lagi alat untuk menangkap ikan.

Memilih menangkap ikan jauh ke tengah laut pun tak mudah, juga tak murah. Tak jarang hasil yang diperoleh Mas Kholik tak sebanding dengan biaya yang ia keluarkan. 35 liter solar seharga sekitar Rp. 250.000,- ia habiskan untuk melaut. Bayangkan jika seharian melaut ia hanya mendapatkan Rp. 500.000,- dari penjualan hasil tangkapannya. Belum lagi jika ada kerusakan pada peralatan melaut, bertambah lagi biaya yang harus ia keluarkan.

Setelah tiga jam, tangkapan pertama pun akan segera diangkat. Dengan telaten Mas Kholik menggulung pukat, tak lama hasil tangkapan ia tuangkan ke sebuah terpal sebagai alas. Aneka ikan, cumi-cumi dan kepiting memenuhi terpal kecil itu. Kami membantu Mas Kholik memisahkannya ke dalam beberapa ember. Hanya ikan dan cumi saja yang ia ambil. Sementara kepiting dan hewan lain dikembalikan ke laut bersama pukat. Hampir setengah ember cumi dan ikan dari hasil tangkapan pertama pagi ini. Kami pikir, ini tangakapan yang cukup banyak. Namun menurut Mas Kholik, hasil tangkapannya pagi ini terbilang sedikit. Biasanya ia bisa mendapatkan jauh lebih banyak dari ini. Tapi Mas Kholik tidak pernah menyalahkan laut. Berapa pun rezeki yang ia terima, selalu ia syukuri.

Hari makin terik, sudah mendekati tengah hari. Ombak pun makin besar, membuat perahu yang kami naiki bergoyang-goyang. Mas Kholik pun memutuskan untuk pulang. Perpaduan panas, semilir angin, sedikit pusing lantaran bau solar dan guncangan perahu membuat kami pun sepakat untuk pulang.

Sungguh perjalanan yang menyenangkan sekaligus memberi banyak pelajaran. Betapa memindahkan ikan dari laut ke meja makan atau menukarnya menjadi uang butuh perjuangan tak sederhana. Namun ini adalah satu-satunya pilihan yang dimiliki para nelayan untuk memperjuangkan eksistensi kehidupan mereka.

Laut dengan kebaikannya telah memberikan segala yang dibutuhkan manusia. Tapi sungguh tak bijak jika kita menukar kebaikannya dengan mendukung pembangunan PLTU yang merusak masa depan anak cucu kita.