Tepat setahun yang lalu, api kebakaran hutan melahap jutaan hektar hutan di Sumatera dan Kalimantan serta  membuat ribuan orang sesak nafas. Segala upaya pemadaman dilakukan tapi selama berbulan-bulan api tak juga bisa ditahan, bukan cuma kerugian milyaran tapi yang paling menyedihkan adalah banyaknya korban.
Screen Shot 2016-11-03 at 2.31.29 PM.png

Ida Nurjanah, gadis kecil berumur satu tahun sedang diberikan pengobatan menggunakan Nebulizer, perangkat dalam mengobati ISPA yang diderita akibat bencana asap 2015.

Selama 11 tahun, Greenpeace Indonesia mengkampanyekan pencegahan kebakaran hutan, mencegah api jauh lebih baik daripada harus memadamkannya. Kebakaran tahun 2015 lalu merupakan sebuah bukti tata kelola hutan yang belum terlaksana dengan baik, maka ketika Greenpeace Indonesia mengambil langkah membentuk Tim Cegah Api, saya melihat satu lagi titik terang untuk melindungi masa depan hutan Indonesia.
“Jika api sudah kemana-mana, tandanya kita sudah kalah”
Tim Cegah Api Greenpeace Indonesia beranggotakan 25 relawan  dari Sumatera, Kalimantan dan Jakarta. Sebagian besar adalah mereka yang mengalami langsung dampak kebakaran hutan seperti Nilus Kasmi dari Ketapang, Kalimantan Barat. Ayah dua orang putri yang setiap tahun harus menyaksikan anak-anaknya menghirup asap kebakaran hutan.
Screen Shot 2016-11-03 at 2.24.53 PM.png

Dokumentasi Tim Cegah Api di Rantau Bais, Rokan Hilir, Riau saat melakukan pencegahan dan pemadaman kebakaran hutan dan lahan gambut pada tanggal 27 Oktober 2016.

Pencegahan adalah kata kunci bagi tim ini. Secara khusus mereka dilatih untuk mendeteksi titik api dan memadamkannya sebelum titik api meluas dan menjadi kebakaran masif. Bagi tim ini, jika api sudah menyala dan menjalar kemana-mana, itu artinya kekalahan sudah didepan mata.
Titik api di musim penghujan
Berbeda dengan tahun 2015 lalu dimana musim kemarau panjang memudahkan api menjalar dan membuat kebakaran bertambah besar sampai akhirnya mengepung beberapa daerah di Sumatera dan Kalimantan dengan asap. Tahun 2016 adalah tahun basah (La Nina) dengan dominasi hujan. Namun bahkan di tengah musim penghujan sekalipun kami masih menemukan titik api yang sulit dipadamkan di daerah sekitar Rokan Hilir, Riau, Sumatera.
GP0STQ9S1_Medium_res_with_credit_line.jpg

Tim Cegah Api sedang melakukan pemadaman di lahan gambut. Karakteristik api di lahan gambut tidak terlihat di permukaan, melainkan membakar habis gambut di bawah permukaan.

Bersama dengan tim Manggala Agni dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah Propinsi Riau serta masyarakat – berhari-hari kami mencoba memadamkan titik-titik api di hutan gambut yang bahkan sulit padam meski sudah diguyur hujan. Dan yang tak kalah pentingnya adalah temuan kami ketika melakukan aktifitas pemadaman titik api di Kabupaten Rokan Hiir.
Salah satu area  di Rantau Bais-Momugo, Kec. Tanah Putih, Rokan Hilir adalah sebuah konsesi akasia (HTI). Hanya saja sulit diketahui siapa pemilik konsesi tersebut tak terdeteksi di peta kepo hutan yang kami gunakan sebagai panduan. Ini menjadi salah satu alasan kuat bagi Greenpeace mendorong Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk  membuka  informasi data dan informasi kehutanan karena hal tersebut menjadi salah satu syarat penting perbaikan tata kelola kehutanan.
Transparansi adalah kunci. Pemegang konsesi seharusnya bertanggungjawab atas apa yang terjadi di konsesinya, termasuk kebakaran. Sayangnya  informasi yang kami terima selama melakukan pemadaman kebakaran di area konsesi HTI tersebut sangat simpang siur, baik dari masyarakat maupun dari aparat setempat.
GP0STQ9R5_Medium_res.jpg
Pelajaran yang bisa dipetik adalah jika masyarakat mempunyai hak untuk berpartisipasi dalam pengelolaan dan monitoring hutan (seperti yang dijamin dalam undang undang) maka transparansi adalah hal mutlak yang harus dijamin dan dipenuhi, jika tidak maka berarti ini adalah kegagalan atas pemenuhan hak konstitusional dan mencerminkan buruknya tata kelola kehutanan kita.
Di sisi lain, wilayah yang terbakar adalah ekosistem gambut yang dikonversi menjadi konsesi akasia, tentu saja dengan praktek pengeringan gambut dan membangun kanal-kanal. Praktek pengeringan gambut inilah yang menyebabkan gambut manjadi rawan dan mudah terbakar. Jelas praktek seperti ini harus segera dihentikan jika kita ingin melindungi ekosistem hutan gambut dan menghentikan kebakaran untuk tidak terulang di masa depan,
Ambil posisi kamu sekarang!
Kami sudah mengambil satu langkah lagi untuk melindungi hutan dengan langsung turun ke lapangan dan mencegah api serta kebakaran. Itulah wujud keseriusan kami. Sebelum musim kemarau datang lagi, sebelum api berkobar lagi, kami mulai mencari titik-titik api untuk dipadamkan. Kamu juga mulai bisa mengambil posisi dari sekarang. Berdiri untuk menyatakan solidaritas untuk hutan Indonesia, melangkah hari ini dan jangan lupa ajak rekan dan kerabat kamu.
GP0STQ9S0.jpg

Bergabunglah bersama solidaritas Tim Cegah Api dalam mendorong perlindungan hutan dan lahan gambut Indonesia di hutantanpaapi.org