Saya sempat menghadiri Kongres Tuna Nasional ke-18 Filipina di Kota General Santos. Kongres tersebut dimulai sejak 31 Agustus  hingga 2 September 2016 lalu dengan tema “Gearing up for the future” atau “Bersiap untuk masa Depan”.

Lebih dari 31 perusahaan menghadiri Kongres Tuna Nasional Filipina tersebut, mulai dari perusahaan pengalengan sampai perusahaan penangkapan ikan. Sejumlah organisasi masyarakat sipil termasuk Greenpeace juga menghadiri  kongres tahunan tersebut. Berbagai isu penting turut dibahas dalam agenda kongres diantara rencana pengelolaan perikanan tuna.

 

Rencana Pengelolaan Perikanan Tuna Nasional Filipina dan Indonesia prinsipnya tidak jauh berbeda. Berbagai isu perikanan tuna yang mencuat dibahas guna mendapatkan kebijakan pembaharuan pengaturan untuk memastikan masa depan perikanan tuna yang berkelanjutan.

Permasalahan dalam praktik penangkapan tuna masih menjadi isu dominan dalam pembahasan Kongres Tuna Nasional Filipina kali ini. Maraknya kapal penangkap ikan asing yang berada di wilayah Filiipina pun tidak luput menjadi sorotan. Pentingnya keberpihakan pemerintah terhadap nelayan tradisional juga diusulkan oleh Asosiasi Nelayan Pancing (Handline) Filipina.

Bahkan ada hal yang selalu menjadi bahasan menarik. Indonesia sebagai negara tetangga Filipina sering disebut dalam tiap usulan kerjasama penangkapan ikan. Usulan yang dikeluarkan oleh para pengusaha, nelayan komersil atau pun tradisional Filipina sebenarnya lebih menitikberatkan pada upaya membangun kembali kerjasama penangkapan di wilayah pengelolaan perikanan (WPP) Indonesia. Meskipun demikian, sangat penting untuk kita ketahui bahwa dalam dua tahun terakhir kebijakan tepat telah ditegaskan oleh Pemerintah Indonesia bahwa tidak lagi membuka akses penangkapan ikan bagi kapal-kapal ikan asing.

Upaya pembaharuan National Tuna Management Plan (NTMP) di Filipina bukan lah tanpa sebab. Stok tuna telah menurun drastis di wilayah pengelolaan regional Komisi Perikanan Tuna Pasifik Barat-Tengah (WCPFC), seperti tuna mata besar (big eye) yang stoknya hanya tersisa 16%. Hal serupa juga terjadi di wilayah pengelolaan regional Komisi Tuna Samudera Hindia (IOTC) yang juga mengalami penangkapan berlebih untuk jenis tuna sirip kuning (Yellowfin) hingga stoknya tersisa 23%.

Penangkapan tuna anakan (juvenile) banyak dilakukan oleh armada penangkapan tuna dari dua negara, Indonesia dan Filipina, dengan ukuran panjang kurang dari 50 cm. Penggunaan alat bantu tangkap ikan seperti Fish Aggregating Devices (FADs) atau di Indonesia lebih dikenal dengan rumpon sudah lepas kendali karena sebagian besar ilegal (tanpa izin) serta jumlahnya mencapai ratusan ribu. Belum lagi diperparah dengan penggunaan alat tangkap ikan yang tidak ramah lingkungan menjadi penyebab utama anakan tuna banyak tertangkap.

Melihat begitu pentingnya tata-kelola perikanan tuna yang berkelanjutan, Greenpeace hadir dalam Kongres Tuna Nasional Filipina untuk mendukung dan memberikan usulan solusi terkait praktik penangkapan ikan yang berkelanjutan kepada pemerintah, pemangku kepentingan, dan nelayan skala kecil. Upaya perubahan dalam praktik perikanan tangkap berkelanjutan perlu terus menerus disuarakan dengan mendukung penggunaan alat tangkap ikan ramah lingkungan seperti pancing ulur (handline), huhate (pole and line) dan mendorong penghentian penggunaan rumpon oleh alat tangkap jaring lingkar (purse seine).

Melalui berbagai laporan peringkat industri dan merek tuna dalam kaleng misalnya, Greenpeace tegas mendorong para industri perikanan tuna tersebut untuk semakin transparan dalam informasi ketelusuran asal-usul ikan mereka yang tentu saja hal tersebut dapat membantu pelaksanaan pengelolaan perikanan tuna yang lebih baik di berbagai negara, termasuk Indonesia.