Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Siti Nurbaya mengklaim telah ‘berhasil’ meredam angka kebakaran hutan lahan (karhutla) pada 2023 di tengah fenomena iklim El Niño kuat tahun lalu. Pada tahun tersebut, luas indikatif kebakaran hutan dan lahan menurut KLHK mencapai 1,16 juta hektar (ha). Luas karhutla menurut KLHK ini setara 416 kali lipat luas Gelora Bung Karno.

KLHK juga mencatat kebakaran lahan gambut berkurang drastis, yaitu hanya sebesar 182.789 ha selama 2023. Laporan Kinerja Direktorat PKHL tahun 2023 juga menyebut ada penurunan emisi karbon karhutla 2023 (183 juta ton CO2e), jauh lebih rendah dari tahun 2019 (624 juta ton CO2e). Secara umum, pemerintah mengklaim berhasil menurunkan kebakaran lahan 2023 dibandingkan karhutla masif pada 2019 yang luasnya mencapai 1,65 juta hektar.

Klaim Menteri Siti serta laporan penurunan jumlah hotspot dan luas areal kebakaran perlu dipertanyakan. Data jumlah hotspot merupakan data fluktuatif yang tidak bisa diperbandingkan antar tempat dan waktu. Sementara luas areal kebakaran 2023 pasti terlihat menurun jika dibandingkan dengan tahun yang luas areal kebakarannya tinggi. Pemerintah perlu membuka data secara terang-benderang untuk membuktikan klaim keberhasilan mereka mengatasi kebakaran 2023.

Analisis terbaru Greenpeace Indonesia justru menunjukkan luas indikatif karhutla 2023 setidaknya mencapai 2,13 juta ha. Jumlah ini hampir dua kali lipat lebih besar dari data pemerintah. Analisis ini, yang berbasiskan pengolahan data Greenpeace, KLHK, dan The Treemap, mendapati sekitar 1,3 juta ha dari total area terbakar pada 2023 pernah dilalap api sepanjang 2015 – 2022. Sisanya, sekitar 830 ribu ha, tercatat sebagai kejadian baru.

Kebakaran 2023 turut menjadi indikasi kuat bahwa kebijakan restorasi gambut yang dicanangkan Presiden Joko Widodo masih jauh dari harapan. Sekitar 28% atau setara 599 ribu ha dari luas indikatif kebakaran 2023, terjadi di 211 Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) di tujuh provinsi yang masuk dalam prioritas restorasi. Mayoritas KHG yang terbakar berstatus kritis tinggi dan sedang. Kategorisasi kritis ditentukan oleh Greenpeace berdasarkan sepuluh kriteria seperti mulai dari fungsi, status kerusakan, tutupan hutan, tutupan konsesi sawit dan hutan tanaman industri (HTI) atau kebun kayu, dan sebagainya. Metodologi yang dipakai untuk kategorisasi ini dijelaskan dalam laporan Greenpeace Indonesia tahun 2021 berjudul Restorasi Hilang dalam Kabut Asap.

Selain menyoroti karhutla secara umum, laporan ini juga banyak mengulas karhutla di KHG. Alasannya, dampak kesehatan dan emisi karbon dari lahan gambut yang terbakar jauh lebih besar sehingga perlu perhatian serius. Kebakaran di 599 ribu ha lahan gambut pada 2023 melepas 553 juta ton CO2e ke udara. Selain itu, kebakaran berulang di KHG tak hanya membuat kondisinya semakin kritis, tapi juga sudah pada tahap kronis.